WELL COME

-------------------------------------SELAMAT DATANG DI BLOG IKAMAH MEDAN-------------------------------------

Berita Ikatan Alumni Ahmadul Jariah Medan

Berita Ikatan Alumni Ahmadul Jariah Medan

Mohon Untuk diisi Dengan Sebenarnya

MEREDUPNYA GERAKAN (MAHASISWA) KRITIS



Sepertinya gerakan mahasiswa saat ini mulai meredup. Suara-uara kritis mahasiswa sudah jarang terdengar. Padahal, persoalan bangsa semakin besar. Dalam bidang politik dan hokum misalnya.persoalan korupsi dan mandulnya penegakan hokum merupakan persoalan mendasar, sementara dalam bidang ekonomi ditandai dengan ketidakberdayaan rakyat memenuhi kebutuha hidupnya. Belum lagi dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan segala aspek kehidupan berbangsa ditandai dengan segudang persoalan. Lantas, dimana peran mahasiswa yang katanya sebagai agent of change dan agent of social control?
Kalu kita amati akhir-akhir ini suara kritis justru datang dari masyarakat biasa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Misalnya suara penolakan gedung baru DPR dan kritikan terhadap pemerintahan SBY-Boediono, lebih sering disuarakan masyaraakat biasa. Timbul pertanyaan, ada apa dengan gerkan mahasiswa sekarang ini…?
Faktor Penyebab
Kalau dianalisis, banyak faktor  tumpulnya  taring gerakan mahasiswa. Antara lain, system pendidikan yang membatasi masa study, gerakan yang tidak terkonsolidasi, organisasi kemahasiswaan yang bermuara pada kepentingan seglintir orang, terkontaminasi dengan kepentinga politik internal maupun eksternal kampus, tekanan dari pihak kampus, dan terjebak dengan kemajuan tekhnologi informasi.
Perguruan tinggi negeri telah (PTN) membatasi masa studi mahasiswa. Jika masa studi telah berakhir namun mahasiswa belum menyelesaikan perkuliahan nya, maka mahasiswa bersangkutan harusbersiap-siap dikeluarkan dari kampus tersebut. Pada umumnya masa studi mahasiswa di PTN berkisar antara 4-7 tahun. Bahkan untuk menamatkan jenjang sarjana, tidak sedikit mahasiswa menempuhnya haya 3-4 tahun.
Kondisi demikian menyebabkan mahasiswa fokus mencari nilaiyang tinggi, berupaya cepat tammat, dan berharap cepat mendapatkan pekerjaan. Segala hal yang menghambat tujuan tersebut akan dihilangkan, termasuk berorganisasi. Banyak mahasiswa yang beranggapan bahwa organisasi akan menghambat perkuliahan, kalaupun ikut berorganisasi, maka organisasi yang diikuti adalah organisasi yang mendukung nilai dan cepat tammat. Sehingga, organisasi yang sifatnya kritis sudah mulai jarang diminati mahasiswa.
Pembatasan masa studi tersbut lebih banyak mudharatnya  dari pada manfaatnya, mahasiswa diarahkan menjadi robot-robot yang mengikuti arus kebijakan pasar. Memang system pendidikan kita telah berorientasi pasar, yakni mahasiswa adalah produk dan kampus adalah penghasil produk. Mahasiswa sebagai produk akan diserahkan kepada pasar. System seperti ini secara tidak langsung melemahkan gerakan mahasiswa. Karena system pasar tidak pernah menginginkan suara-suara kritis.
Kalaupun adaorganisasi yang kritis, sanat sulit menyatukan sikap dengan  organisasi kritis lain, meskipun perjuanganya sama yakni memperjuangkan rakyat. Hal ini terjadi karena sudah ada saling mencurigai dengan kelompok lain, apalagi hal yang dikritisi adalah isu politik. Tidak terkonsolidasinya gerakan ini tidak terlepas dari tidak adanya isu bersama  yang dijadikan sebagai isu bersama.
Berbeda dengan gerakan mahasiswa pada 1966 dan 1998 yang mempunyai isu bersama yakni menjatuhkan pemerintah yag berkuasa karena dinilai telah melanggar konstitusi. Gerakan mahasiswa itu pun bisa bersatu karena situasi politik dan ekonomi pada masa itu sedang kacau sehingga hal yang diinginkan adalah perubahan.
Sedangkan sekarang, organisasi-organisasi mahasiswa tampaknya sibuk bersaing menanamkan pengaruh di kampus. Hanya saja yang paling menonjol adalah eksistensi dan kepentingan, bukan perjuangan. Misalnya pada momen penyambutan mahasiswa baru tampak jelas “ persaingan” mencari kader-kader baru. Hal ini juga menunjukan organisasi mahasiswa telah kesulitan mencari kader baru.
Dalam demokrasi di kampus melalui pemilihan presiden mahasiswa (tingkat universitas), gubernur  mahasiswa (tingkat fakultas), dan ketua himpunan mahasiswa (tingkat jurusan/departemen), yang tampak adalah kepentingan segelintir orang dan kepentingan organisasi tertentu, termasuk organisasi ekstra kampus. Maka tidak mengherankan, organnisasi kemahasiswaan dikampus, katakanlah senat mahasiswa, NIHIL memperjuangkan aspirasi mahasiswa itu sendiri.
Parahnya, jabatan-jabtan sebagai senat mahasiswa hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Misalnya, meningkatkan posisi tawar untuk memperoleh beasiswa, membuat proyek-proyek kegiatan, dan kegiatan yang tidak ada hubunganya dengan aspirasi mahasiswa. Sialnya senat mahasiswa ini bisa “dibeli” dan dijinakkan oleh pihak birokrasi kampus.
Mahasiswa menjadi terkotak-kotak karena saling menonjolkan eksistensi organisasi masing-masing dan terkontaminasi dengan kepentingan birokrasi kampus maupun eksternal kampus. Ini jells-jelas merugikan mahasiswa secara keseluruhan.  Kondisi ini juga melahirkan mahasiswa yang apatis terhadap organisasi mahasiswa, persoalan kampus dan kampus.
Tekana dari pihak ampus juga membatasi ruang gerakan mahasiswa. Misalnya dengan melarang menempel selebaran penyadaran ditembok-tembok kampus, melarang diskusi-diskusi kritis di dalam kampus. Padahal, konstitusi memberikan kebebasan bersuara dan berserikat kepada semua warga Negara. Namun, kampus sebagai tempat melahirkan calon pemimpin-pemimpin bangsa justru membatasi kebebasan bersuara tersebut.
Hampir semua kampus membatasi mahasiswa menyampaikan suara kritisnya.
Satpam, pegawai, dan mahasiswa “kaki tangan” birokrasi kampus, bahkan preman, dijadikan sebagai tembok penghambat gerakan mahasiswa kritis di kampus. Mahasiswa yag kritis akan ditekan. Ada juga mahasiswa yang dijadikan sebagai “mata-mata” untuk mengawasi mahasiswa yang dianggap kritis.
Terakhir gerakan mahasiswa semakin redup ketika banyak mahasiswa terjebak dengan kemajuan tekhnologi. Misalnya jejaring social seperti facebook, dan permainan game online, membuat mahasiswa asyik dengan dirinya sendiri dn kurang peduli dengan kehidupan sekelilingnya. Ditambah lagi budaya instan yang berkontribusi terhadap lemahnya gerakan mahasiswa.
Banyak mahasiswa yang menjadikan pusat perbelanjaan  dan hiburan sebagai rumah kedua. Sementara “berkunjung” ke desa-desa, pemukiman kumuh, daerah bencana alam, dan tempat-tempat orang miskin, adalah hal yang sudah jarang dilakukan mahasiswa.
Apa yang terjadi dengan bangsa ini kedepan jika mahasiswa yang katanya agent of social control: pada kenyataanya APATIS, HEDONIS, & PRAGMATIS? Apa yang terjadi jika mahasiswa hanya menjadi alat penguasa dan milik pemodal? Jawabanya adalah pasti bangsa ini akan terpuruk. Lantas bagaimana menyalakan gerakan mahasiswa kritis? Itulah yang perlu dipikirkan oleh mahasiswa secara kritis dan kreatif. Hidup mahasiswa..!!!!